Selasa, 23 Juni 2015

Analisis legal Gap




Terjadinya dualitas, antara hukum nasional dan hukum adat dalam suatu masyarakat membuat adanya silang selisih antara apa yang dihukumkan secara resmi oleh kekuasaan nasional dan apa yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari sebagai hukum oleh warga masyarakat setempat.  Dualitas terjadi disebabkan dari gerak ofensif kekuasaan pusat dengan hukum nasionalnya di satu pihak dan posisi defensive yang tahan uji dari locale rechtsgemeenscahppen dengan hukum informalnya di lain pihak telah menyebabkan terjadinya suatu fenomena yang diistilahkan legal gap. Antara hukum dan relita sosial terjadi sebuah kesenjangan yang biasa disebut dengan legal gap.
Seperti layaknya konsep keadilan dan stratifikasi di negeri Indonesia.  Keadilan adalah milik setiap orang. Setiap orang berhak merasakan sebuah keadilan termasuk juga keadilan hukum. Sebagaimana juga yang terdapat dalam sebuah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Hukum tidak memandang kaya atau miskinnya seseorang. Setiap orang baik kaya ataupun miskin punya hak yang sama untuk merasakan keadilan hukum. Namun, pada kenyataanya, tidak demikian. Terkadang terkesan bahwa hukum lebih berpihak pada kaum strata atas.
Strartifikasi dimaksud adalah pelapisan social yang ada dalam masyarakat. Namun stratifikasi dimaksud tetap memperhatikan pasal-pasal di dalam peraturan perundang-undangan mengenai persamaan dihadapan hukum seperti pasal 27 UUD 1945, yaitu hukum tidak membeda-bedakan meskipun kenyataannya masih ada lapisan social dalam masyarakat. Adanya diskriminasi di dalam masyarakat yang disebabkan oleh pembedaan kelas sosial ini coba diatasi dengan hukum. Hukum menjanjikan adanya kesetaraan di hadapan hukum. Salah satu asas hukum adalah equality before the law yang artinya adalah kedudukan setiap orang adalah sama di hadapan hukum. Hukum tidak membedakan status, kedudukan, kasta, dan kelas sosial. Semua sama dihadapan hukum. Namun stratifikasi tetap saja muncul. Oleh karena itu, antara hukum dan relita sosial terjadi sebuah kesenjangan yang biasa disebut dengan legal gap. Legal gap disini terjadi karena hukum nasional berupa UUD pasal 27 mengalami perbedaan antara apa yang seharusnya terjadi menurut hukum dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat. nyatanya, masyarakat tetap saja terstratifikasi dalam kehidupan social maupun terstratifikasi dimata hukum. 
Tujuan adanya hukum adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki fungsi sebagai alat control social ( pengendali social ). Menurut realita yang ada di bumi pertiwi Indonesia ini, hukum yang sudah terorganisi dengan berbagai sanksi-sanksi yang dilaksanakan oleh sejumlah aparat eksekutif  dan produk hukum yang dibuat oleh legislative ini condong terabaikan. Seperti penanganan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang kurang memuaskan, sanksi yang ringan bagi pidana korupsi, dll, membuat masyarakat sudah tidak mempercayai kinerja aparat penegak hukum sekaligus tidak mempercayai hukum undang-undang yang sudah dibentuk oleh  institusi negara, seperti POLRI, BPK, kejaksaan TIPIKOR dan lain-lain. Akhirnya, berdirilah KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ), sebagai lembaga yang berdiri sendiri untuk memberantas para koruptor dimuka bumi ini, dan berdirinya KPK memang didukung oleh rakyat banyak. Hal itu sudah menunjukkan  terjadinya legal gap. Antara hukum atau produk undang-undang anti korupsi dan sanksi pidana bagi koruptor yang dibentuk oleh dewan legislative, untuk meniadakan perilaku korupsi, namun pada kenyataannya masyarakat awam malah semakin dibingungkan dengan kasus korupsi yang terjadi disejumlah Dewan Perwakilan Rakyat. Antara hukum dan realitas social kehidupan masyarakat terjadi sebuah kesenjangan.
Pengabaian masyarakat dan penolakan seperti itu akan kian nyata apabila hukum Negara ini nyatanya hanya hendak memperbanyak jumlah kasus korupsi yang merugikan rakyat banyak dan bukan hendak memberikan hak-hak baru yang akan menjamin warga untuk memperoleh layanan social yang memadai dari pejabat Negara.  persoalan nya sat ini adalah pelanggaran atau pengabaian hukum undang-undang itu tidak hanya dilakukan oleh seorang atau dua orang saja, yang akan bisa ditindak dengan penjatuhan sanksi terhadapnya, melainkan oleh beratusribu orang. Persoalnnya yang paling mendasar adalah bahwa para pelanggar itu berkilah dengan merujuk ke dasar pembenar yang berada di ranah kesadaran dan keyakinannya sendiri.
Pada zaman dahulu, zaman sebelum Indonesia dikenal dimata Negara-negara lain. pemerintah colonial mengakui adanya dualisme yakni mengakui dan menerima berlakunya tata tertib hukum adat secara bersamaan, dengan berlakunya sistem hukum Eropa. Pemerintah colonial mengakui berlakunya adat istiadat, kebiasaan dan pranata agama dengan catatan selama tidak bertentangan dengan apa yang disebut “ asas kepatutan dan adab yang baik “. Namun pada masa pemerintahan Soekarno, kebijakan dualisme tersebut dihapuskan secara menyeluruh dan diadakan revolusi kehidupan dengan membentuk unifikasi hukum nasional yang baru.
Pada era pemerintahan Soeharto sistem hukum nasional secara sistematis dibangun untuk didayagunakan sebagai sarana untuk merekayasa berbagai segi kehidupan rakyat, yang sepanjang era colonial hampir-hampir takpernah ditaruh dibawah control aturan-aturan Negara kebijakan “ pembangunanisme “ pada era Soeharto, yang membenarkan dilancarkannya modernisasi lewat pendayagunaan hukum undang-undang dalam peranannya sebagai sebuah alat politik untuk mempengaruhi  sikap dan perilaku rakyat dalam sekalanya yang luas. Hal itu tidak menjadikan pemerintah tidak berwajah ramah pada berlakunya hukum rakyat yang tradisional, yang secara umum dipandang mengahalangi terwujudnya signifikansi hukum undang-undang.  Namun, ternyata hukum  nasional yang difungsikan sebagai sarana rekayasa social demi tercapainya tujuan pembangunan, acapkali sulit dimengerti dan diterima khalayak ramai. Perubahan yang digerakkan oleh motif-motif politik dengan legitimasi hukum undang-undang telah mentransformasikan kehidupan dari wujudnya sebagai komunitas etnik local yang tradisional ke suatu Negara baru yang tunggal, modern, sentral dan nasional.
Dalam konsep ilmu politik dan ilmu hukum, dikenal adanya istilah social engineering, yaitu suatu upaya sistematis oleh para pengemban kekuasaan Negara untuk mempengaruhi sikap dan perilaku rakyat dalam skalanya yang luas.
Perubahan yang digerakkan oleh motif-motif politik (dengan legitimasi hukum dan undang-undang) telah mentransformasi kehidupan dari wujudnya sebagai komunitas-komunitas etnis local tradisional ke suatu Negara baru yang tunggal, modern, sentral dan nasional. Akan tetapi perubahan transformatif seperti itu bukannya tanpa masalah. Progresi doiaras supra yang etatis tidak selamanya dapat diimbangi oleh dinamika perubahan diaras infra yang populis. Kemudian pada gilirannya terjadi culture gap dan legal gap.
Legal gap bukan hanya akses dari kebijakan nasional yang tidak pupulis. Peraturan Daerah yang tidak sesuai denga aspirasi masyarakat akan menimbulkan legal gap juga. Perda sebagai bagain dari peraturan perundang-undangan merupakan kebijakan pada tingkat daerah. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka banyak daerah yang mengeluarkan peraturan dimana pada masa sebelum reformasi, perda tidak memiliki peranan yang signifikan. Dengan eforia tersebut, perda yang dibuat oleh pemerintah daerah tidak luput dari pro dan kontra atau bahkan menjurus pada legal gap.  Seperti contoh : Perda No. 8 Tahun 2005 Kota Tangerang tentan Pelarangan Pelacuran memenuhi unsur lagal gap. Kisah penangkapan akitivis social, karena tuduhan pelacuran yang disebutkan dalam peraturan daerah.
Panggil saja dia Dhi. Aktivis sosial yang aktif mengurusi anak jalanan ini terpaksa masih berada di sekitar Jalan Margonda, Depok, pada suatu dini hari karena aktivitas sosialnya. Saat akan turun dari taksi, tiba-tiba dia disergap polisi. Dhi dipaksa ikut ke kantor polisi terdekat karena dianggap melanggar peraturan daerah anti-prostitusi. Dhi berusaha menjelaskan bahwa ia bukan pelacur Subuh menjelang. Dhi tetap tertahan di kantor polisi. Meski sangat terlambat, “kebebasan” akhirnya datang. Salah seorang polisi mengenali Dhi sebagai tetangganya sehingga Dhi dapat terbebas dari tuduhan dan meninggalkan kantor polisi tersebut.”
Perda No. 8 Tahun 2005 ini mendapatkan reaksi keras dari mayarakat Kota Tangerang. Seperti yang dilakukan oleh Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR) mengajukan Gugatan/Permohonan Hak Uji Materil (Judicial Review) Terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran. TAKDIR mengajukan Judicial Review setelah mengamati bahwa dalam pelaksanaan Perda tersebut, banyak perempuan yang menjadi korban salah tangkap (karena rumusan dalam Perda memang bertentangan dengan asas hukum pidana meteril yang berlaku) dan melalui proses peradilan yang sangat tidak manusiawi (persidangan di gelar di depan umum, tanpa memperoleh kesempatan untuk membela diri. Adanya perda NO. 8 tersebut sudah menimbulkan legal gap, dan  Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang memberikan hak otonomi seluas-luasnya pada daerah tingkat I dan II nyatanya malah disikapi dengan pemikiran yang salah kaprah oleh masyarakatnya. Perangkat daerah kemudian seperti berlomba menghasilkan peraturan daerah yang berkaitan dengan ketertiban umum – dari sudut pandang agama – yang kemudian dikenal sebagai “perda syariah “. Namun, semua perda tersebut tidak sesuai dengan realitas yang ada dalam masyarakat Indonesia. Dari beberapa contoh kasus tersebut, semua sudah menunjukkan adanya legal Gap.



1 komentar:

  1. kak mohon maaf saya ambil ini buat riset skripsi yaa, kalau boleh tau nama lengkapnya siapa ya kak?

    BalasHapus