Terjadinya dualitas, antara hukum
nasional dan hukum adat dalam suatu masyarakat membuat adanya silang selisih
antara apa yang dihukumkan secara resmi oleh kekuasaan nasional dan apa yang
dijalani dalam kehidupan sehari-hari sebagai hukum oleh warga masyarakat
setempat. Dualitas terjadi disebabkan
dari gerak ofensif kekuasaan pusat dengan hukum nasionalnya di satu pihak dan
posisi defensive yang tahan uji dari locale rechtsgemeenscahppen
dengan hukum informalnya di lain pihak telah menyebabkan terjadinya suatu
fenomena yang diistilahkan legal gap.
Antara hukum dan relita sosial terjadi sebuah kesenjangan yang biasa disebut
dengan legal gap.
Seperti layaknya konsep keadilan dan
stratifikasi di negeri Indonesia. Keadilan adalah milik setiap orang. Setiap orang berhak
merasakan sebuah keadilan termasuk juga keadilan hukum. Sebagaimana juga yang
terdapat dalam sebuah asas hukum yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki
kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality before the law). Hukum
tidak memandang kaya atau miskinnya seseorang. Setiap orang baik kaya ataupun
miskin punya hak yang sama untuk merasakan keadilan hukum. Namun, pada
kenyataanya, tidak demikian. Terkadang terkesan bahwa hukum lebih berpihak pada
kaum strata atas.
Strartifikasi dimaksud
adalah pelapisan social yang ada dalam masyarakat. Namun stratifikasi dimaksud
tetap memperhatikan pasal-pasal di dalam peraturan perundang-undangan mengenai
persamaan dihadapan hukum seperti pasal 27 UUD 1945, yaitu hukum tidak membeda-bedakan
meskipun kenyataannya masih ada lapisan social dalam masyarakat. Adanya
diskriminasi di dalam masyarakat yang disebabkan oleh pembedaan kelas sosial
ini coba diatasi dengan hukum. Hukum menjanjikan adanya kesetaraan di hadapan
hukum. Salah satu asas hukum adalah equality before the law yang
artinya adalah kedudukan setiap orang adalah sama di hadapan hukum. Hukum tidak
membedakan status, kedudukan, kasta, dan kelas sosial. Semua sama dihadapan
hukum. Namun stratifikasi tetap saja muncul. Oleh karena itu, antara hukum dan
relita sosial terjadi sebuah kesenjangan yang biasa disebut dengan legal gap.
Legal gap disini terjadi karena hukum nasional berupa UUD pasal 27 mengalami perbedaan antara apa yang
seharusnya terjadi menurut hukum dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat.
nyatanya, masyarakat tetap saja terstratifikasi dalam kehidupan social maupun
terstratifikasi dimata hukum.
Tujuan adanya hukum
adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat. Selain itu hukum juga memiliki
fungsi sebagai alat control social ( pengendali social ). Menurut realita yang
ada di bumi pertiwi Indonesia ini, hukum yang sudah terorganisi dengan berbagai
sanksi-sanksi yang dilaksanakan oleh sejumlah aparat eksekutif dan produk hukum yang dibuat oleh legislative
ini condong terabaikan. Seperti penanganan kasus-kasus korupsi yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum yang kurang memuaskan, sanksi yang ringan bagi pidana
korupsi, dll, membuat masyarakat sudah tidak mempercayai kinerja aparat penegak
hukum sekaligus tidak mempercayai hukum undang-undang yang sudah dibentuk
oleh institusi negara, seperti POLRI,
BPK, kejaksaan TIPIKOR dan lain-lain. Akhirnya, berdirilah KPK ( Komisi Pemberantasan
Korupsi ), sebagai lembaga yang berdiri sendiri untuk memberantas para koruptor
dimuka bumi ini, dan berdirinya KPK memang didukung oleh rakyat banyak. Hal itu
sudah menunjukkan terjadinya legal gap.
Antara hukum atau produk undang-undang anti korupsi dan sanksi pidana bagi
koruptor yang dibentuk oleh dewan legislative, untuk meniadakan perilaku
korupsi, namun pada kenyataannya masyarakat awam malah semakin dibingungkan
dengan kasus korupsi yang terjadi disejumlah Dewan Perwakilan Rakyat. Antara hukum
dan realitas social kehidupan masyarakat terjadi sebuah kesenjangan.
Pengabaian masyarakat dan
penolakan seperti itu akan kian nyata apabila hukum Negara ini nyatanya hanya
hendak memperbanyak jumlah kasus korupsi yang merugikan rakyat banyak dan bukan
hendak memberikan hak-hak baru yang akan menjamin warga untuk memperoleh
layanan social yang memadai dari pejabat Negara. persoalan nya sat ini adalah pelanggaran atau
pengabaian hukum undang-undang itu tidak hanya dilakukan oleh seorang atau dua
orang saja, yang akan bisa ditindak dengan penjatuhan sanksi terhadapnya,
melainkan oleh beratusribu orang. Persoalnnya yang paling mendasar adalah bahwa
para pelanggar itu berkilah dengan merujuk ke dasar pembenar yang berada di
ranah kesadaran dan keyakinannya sendiri.
Pada zaman dahulu, zaman sebelum
Indonesia dikenal dimata Negara-negara lain. pemerintah colonial mengakui
adanya dualisme yakni mengakui dan menerima berlakunya tata tertib hukum adat
secara bersamaan, dengan berlakunya sistem hukum Eropa. Pemerintah colonial
mengakui berlakunya adat istiadat, kebiasaan dan pranata agama dengan catatan
selama tidak bertentangan dengan apa yang disebut “ asas kepatutan dan adab
yang baik “. Namun pada masa pemerintahan Soekarno, kebijakan dualisme tersebut
dihapuskan secara menyeluruh dan diadakan revolusi kehidupan dengan membentuk
unifikasi hukum nasional yang baru.
Pada era pemerintahan Soeharto
sistem hukum nasional secara sistematis dibangun untuk didayagunakan sebagai
sarana untuk merekayasa berbagai segi kehidupan rakyat, yang sepanjang era
colonial hampir-hampir takpernah ditaruh dibawah control aturan-aturan Negara
kebijakan “ pembangunanisme “ pada era Soeharto, yang membenarkan
dilancarkannya modernisasi lewat pendayagunaan hukum undang-undang dalam peranannya
sebagai sebuah alat politik untuk mempengaruhi
sikap dan perilaku rakyat dalam sekalanya yang luas. Hal itu tidak
menjadikan pemerintah tidak berwajah ramah pada berlakunya hukum rakyat yang
tradisional, yang secara umum dipandang mengahalangi terwujudnya signifikansi hukum
undang-undang. Namun, ternyata
hukum nasional yang difungsikan sebagai
sarana rekayasa social demi tercapainya tujuan pembangunan, acapkali sulit
dimengerti dan diterima khalayak ramai. Perubahan yang digerakkan oleh
motif-motif politik dengan legitimasi hukum undang-undang telah
mentransformasikan kehidupan dari wujudnya sebagai komunitas etnik local yang
tradisional ke suatu Negara baru yang tunggal, modern, sentral dan nasional.
Dalam konsep
ilmu politik dan ilmu hukum, dikenal adanya istilah social engineering,
yaitu suatu upaya sistematis oleh para pengemban kekuasaan Negara untuk
mempengaruhi sikap dan perilaku rakyat dalam skalanya yang luas.
Perubahan yang digerakkan oleh motif-motif politik (dengan legitimasi hukum dan undang-undang) telah mentransformasi kehidupan dari wujudnya sebagai komunitas-komunitas etnis local tradisional ke suatu Negara baru yang tunggal, modern, sentral dan nasional. Akan tetapi perubahan transformatif seperti itu bukannya tanpa masalah. Progresi doiaras supra yang etatis tidak selamanya dapat diimbangi oleh dinamika perubahan diaras infra yang populis. Kemudian pada gilirannya terjadi culture gap dan legal gap.
Perubahan yang digerakkan oleh motif-motif politik (dengan legitimasi hukum dan undang-undang) telah mentransformasi kehidupan dari wujudnya sebagai komunitas-komunitas etnis local tradisional ke suatu Negara baru yang tunggal, modern, sentral dan nasional. Akan tetapi perubahan transformatif seperti itu bukannya tanpa masalah. Progresi doiaras supra yang etatis tidak selamanya dapat diimbangi oleh dinamika perubahan diaras infra yang populis. Kemudian pada gilirannya terjadi culture gap dan legal gap.
Legal gap bukan
hanya akses dari kebijakan nasional yang tidak pupulis. Peraturan Daerah yang
tidak sesuai denga aspirasi masyarakat akan menimbulkan legal gap juga. Perda
sebagai bagain dari peraturan perundang-undangan merupakan kebijakan pada
tingkat daerah. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka banyak daerah yang
mengeluarkan peraturan dimana pada masa sebelum reformasi, perda tidak memiliki
peranan yang signifikan. Dengan eforia tersebut, perda yang dibuat oleh
pemerintah daerah tidak luput dari pro dan kontra atau bahkan menjurus pada
legal gap. Seperti contoh : Perda No. 8
Tahun 2005 Kota Tangerang tentan Pelarangan Pelacuran memenuhi unsur lagal gap.
Kisah penangkapan akitivis social, karena tuduhan pelacuran yang disebutkan
dalam peraturan daerah.
Panggil saja dia Dhi. Aktivis sosial yang aktif mengurusi anak jalanan ini terpaksa masih berada di sekitar Jalan Margonda, Depok, pada suatu dini hari karena aktivitas sosialnya. Saat akan turun dari taksi, tiba-tiba dia disergap polisi. Dhi dipaksa ikut ke kantor polisi terdekat karena dianggap melanggar peraturan daerah anti-prostitusi. Dhi berusaha menjelaskan bahwa ia bukan pelacur Subuh menjelang. Dhi tetap tertahan di kantor polisi. Meski sangat terlambat, “kebebasan” akhirnya datang. Salah seorang polisi mengenali Dhi sebagai tetangganya sehingga Dhi dapat terbebas dari tuduhan dan meninggalkan kantor polisi tersebut.”
Panggil saja dia Dhi. Aktivis sosial yang aktif mengurusi anak jalanan ini terpaksa masih berada di sekitar Jalan Margonda, Depok, pada suatu dini hari karena aktivitas sosialnya. Saat akan turun dari taksi, tiba-tiba dia disergap polisi. Dhi dipaksa ikut ke kantor polisi terdekat karena dianggap melanggar peraturan daerah anti-prostitusi. Dhi berusaha menjelaskan bahwa ia bukan pelacur Subuh menjelang. Dhi tetap tertahan di kantor polisi. Meski sangat terlambat, “kebebasan” akhirnya datang. Salah seorang polisi mengenali Dhi sebagai tetangganya sehingga Dhi dapat terbebas dari tuduhan dan meninggalkan kantor polisi tersebut.”
Perda No. 8
Tahun 2005 ini mendapatkan reaksi keras dari mayarakat Kota Tangerang. Seperti
yang dilakukan oleh Tim Advokasi Perda Diskriminatif (TAKDIR) mengajukan
Gugatan/Permohonan Hak Uji Materil (Judicial Review) Terhadap Peraturan Daerah
Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Pelacuran. TAKDIR
mengajukan Judicial Review setelah mengamati bahwa dalam pelaksanaan Perda
tersebut, banyak perempuan yang menjadi korban salah tangkap (karena rumusan
dalam Perda memang bertentangan dengan asas hukum pidana meteril yang berlaku)
dan melalui proses peradilan yang sangat tidak manusiawi (persidangan di gelar
di depan umum, tanpa memperoleh kesempatan untuk membela diri. Adanya perda NO.
8 tersebut sudah menimbulkan legal gap, dan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang
memberikan hak otonomi seluas-luasnya pada daerah tingkat I dan II nyatanya
malah disikapi dengan pemikiran yang salah kaprah oleh masyarakatnya. Perangkat
daerah kemudian seperti berlomba menghasilkan peraturan daerah yang berkaitan
dengan ketertiban umum – dari sudut pandang agama – yang kemudian dikenal
sebagai “perda syariah “. Namun, semua perda tersebut tidak sesuai dengan
realitas yang ada dalam masyarakat Indonesia. Dari beberapa contoh kasus
tersebut, semua sudah menunjukkan adanya legal Gap.